Mereka tidak menerima kos
untuk anak Papua'
- 14 Juli 2016
Hak atas
foto Yaya Ulya
Benediktus
Fatubun, mahasiswa berusia 23 tahun asal Papua, terus berjalan dari satu rumah
ke rumah yang lain. Dia selalu berhenti di setiap rumah yang memasang tulisan
‘Menerima Kos Putra’ atau ‘Masih Ada Kamar Kosong’ di Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY).
Namun setiap
ia mengetuk pintu, sang pemilik rumah selalu mengatakan kamar kos sudah penuh
atau sudah tidak menerima kos.
Mahasiswa
yang biasa dipanggil Benfa ini tidak tahu pasti apa penyebabnya. Yang jelas dia
yang sudah diterima menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi sampai
sebulan tidak juga mendapatkan tempat kos.
- Dianggap hina simbol negara, mahasiswa Papua ditangkap
- Janji penyelesaian 11 pelanggaran HAM di Papua
Belakangan
Benfa tahu, penolakan itu lantaran dia orang Papua. “Ada yang bilang, tidak
menerima kos untuk anak Papua,” ceritanya, Jumat (01/07).
Ini tidak
hanya terjadi pada Benfa. “Saya juga ditolak gara-gara saya orang Papua,” kata
Ruben Frasa (26), mahasiswa semester akhir salah satu kampus swasta di
Yogyakarta.
Suatu hari,
pelajar Papua yang lain diminta pergi dari halaman kampus oleh seorang dosen.
Mahasiswi yang sedang duduk sambil merajut Noken itu dihampiri diminta pergi
karena 'dia orang Papua'. Testimoni mahasiswi yang tak ingin disebut namanya
ini lantas dibagikan dalam sebuah unggahan
Facebook, memicu perbincangan di dunia maya.
Hak atas
foto Yaya Ulya Image caption Benediktus Fatubun kesulitan mencari tempat kos di
Jogjakarta.
“Sampai
sekarang, perlakuan diskriminatif dan rasis masih sering kami terima,” ujar
Aris Yeimo (30), Ketua Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua di Yogyakarta,
seperti yang dilaporkan wartawan lokal Yaya Ulya, Minggu (03/07).
Perbedaan
perlakuan terhadap orang Papua tidak hanya terjadi di Yogyakarta tetapi juga di
beberapa daerah lain termasuk di Jakarta.
'Susah bayar'
Lalu,
mengapa diskriminasi itu terjadi?
Salah satu
yang berperan besar adalah pandangan umum yang menganggap orang Papua sering
mabuk, suka melanggar peraturan, dan suka berkelahi. “Karena kenyataannya
seperti itu,” kata Pedro Indharto (33), warga asli Yogyakarta.
Warga
Yogyakarta lainnya, Sukma Indah Permana (28) mengaku kerap melihat orang Papua
yang tidak patuh aturan lalu lintas, bahkan mereka kadang tiga orang naik motor
tanpa memakai helm. “Aku sering lihat, loh,” katanya.
Mereka
mengakui tidak semua orang Papua seperti itu dan mengatakan banyak orang Papua
berperilaku baik. Tetapi, ulah sebagian orang membuat stigma negatif menempel
kuat.
Seorang
pemilik kos-kosan yang ditanya mengapa dia tidak mau menerima orang Papua
mengatakan dirinya memiliki pengalaman buruk.
“Susah
bayar, suka bikin gaduh suasana kos apalagi kalau pas mabuk,” kata Nugroho
(28), pengelola kos-kosan di Depok, Sleman. Sebagai pemilik bisnis, dia
menginginkan pemasukan keuangan lancar dan tertib, sehingga mengaku "malas
berususan dengan Papua karena tidak tertib dalam membayar".
Perilaku
segelintir orang Papua menjadi sebuah sterotipe di Yogyakarta, kata Aris Yeimo.
"Biasanya (yang suka mabuk) adalah anak muda Papua yang baru datang karena
ada emosi (budaya) yang terbawa dari Papua," katanya.
Orang Papua
yang tinggal di tempat dingin seperti di pegunungan, kata Aris, biasanya butuh
penghangat sehingga terbiasa minum produk lokal untuk menghangatkan - sehingga
ketika berada di Yogyakarta, perlu waktu untuk beradaptasi.
“Tapi kalau
bikin onar dan makan tidak mau membayar, itu hanya beberapa orang, tidak semua.
Jadi jangan digeneralisir,” imbuhnya.
Saling membutuhkan
Hak atas
foto Yaya Ulya Image caption Ruben Frasa (26), mahasiswa Papua yang mengalami
kesulitan mencari kos.
Setiap tahun
ajaran baru bisa dipastikan selalu ada merantau baru dari Papua ke Yogyakarta
untuk menuntut ilmu. Sampai sekarang, jumlah mereka yang tercatat ada 7.000
orang, menurut Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua di sana - yang salah satu
programnya juga memberi pengenalan kultural pada pelajar Papua yang baru datang
ke Yogyakarta.
Bagi Emanuel
Gobay (31), salah seorang warga Papua yang sudah 10 tahun tinggal di sana,
masalah diskriminasi ini semakin kuat terasa dalam beberapa tahun terakhir dan
tidak ada inisiatif dari pejabat daerah untuk mengatasinya.
"Banyak
juga warga non Papua yang suka mabuk, membikin rusuh, dan suka melanggar
peraturan lalu lintas. Tapi mengapa selalu kami?" tanya pria yang akrab di
sapa Edo.
Apakah ini
karena warna kulit?
"Ya jelas,"
katanya. "Ketika mereka melihat saya berkulit hitam dan berambut keriting,
mereka memberi alasan-alasan (menolak menerima anak kos)."
Mencari
solusi bersama adalah jalan keluar yang terbaik, kata Edo yang juga aktif di
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.
"Kehadiran
mahasiswa Papua di Yogyakarta membawa pemasukan ekonomi pada warga dan
pemerintah daerah. Jadi selayaknya kami diberikan perlindungan dari perilaku
diskriminasi. Tidak perlu terpancing dengan isu-isu yang dibangun oleh pihak
yang menginginkan kekacauan."
"Bangun
kenyamanan bersama, karena kehadiran mahasiswa memberi sumbangsih ekonomi, di
sisi lain Yogyakarya juga memberi sumbangsih pada pelajar Papua khususnya dalam
bidang pendidikan."
Analisa dari permasalahan berita ini adalah
Dari berita
diatas jelas sekali bahwa diskriminasi itu jelas terasa bagi kaum minoritas
yang berada didalam kawasan mayoritas seperti yang dialami oleh anak papua
tersebut, sebuah hal yang seharusnya tidak terjadi di indonesia yang berasas
pada bhineka tunggal ika,
lantas kenapa hal ini masih terjadi? Sebuah masalah
yang timbul dari pertentangan sosial.
Inilah bentuk
kurangnya kesadaran manusia terhadap hal hal sosial yang berada didaerah
yogjakarta khususnya dan umumnya untuk setiap daerah di indonesia.sebuah hal
yang mungkin menjadi awal mula diskriminasi itu terjadi bisa terjadi dari
1. Menilai hal itu menjadi bentuk
negatif karena itu dianggap keluar dari sebuah kebiasaan yang berada dalam
daerah tersebut atau dari keyakinan mayoritas didaerah tersebut.
2. Menyamaratakan hal hal buruk yang
terjadi kepada kaum minoritas karena menganggap kesamaan sebuah ras menjadi
kesamaan prilaku juga.
3. berlatar belakang sejarah
4. dilatarbelakangi olehperkembangan
sosio-kultural dan situasional
5. bersumber dari faktor kepribadian
6. berlatar belakangdari perbedaan keyakinan,
kepercayaan dan agama
padahal hal hal tersebut terjadi bukan hanya bermula
dari kaum minoritas saja tetapi bisa juga dilakukan oleh kaum mayoritas untuk
itu pemerintah daerah dan organisasi yang terkait menjadi acuan untuk membuat
permasalah ini agar selesai.
Lantas apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan
diskriminasi tersebut?
Lapang dada dan memiliki sikap terbuka adalah cara
yang tepat untuk mengurangi diskriminasi tersebut,
karena Sesungguhnya
idealisme paham kebangsaan yang mencanangkan persatuan dan kemerdekaan, telah
menumbuhkan sikap kesepakatan, solidaritas yang tinggi.
Dengan berbagai sikap
unggul itu, diharapkan akan berkelanjutan dengan sikap saling percaya, saling
menghargai, menghormati dan menjauhi dari dari sikap berprasangka. Dilandasi
dengan sikap-aikap tersebut akn mucul sikap terbuka, sikap lapang, untuk
menerma kritik, suatu makna dari perbedaan pendapat yang wajar dalam
kemajemukan masyarakat indonesia. Upaya menjalin komunikasi dua arah, karena masing-masing
berniat membuka diri untuk berdialog antar golongan, antar kelompok sosial yang
diduga berprasangka dengan tujuan membina kesatuan dan persatuan bangsa adalah
suatu cara yang sungguh bijaksana.
Mungkin
ini saja yang bisa saya berikan untuk membahas permasalahan ini semoga hal ini
tidak meluas kedaerah daerah lain dan dapat terselesaikan dengan baik. Terimakasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar